Jumat, 28 September 2012

Melafadzkan Sayyidina (سَيِّدِيْنَا ) dalam Tasyahud


Melafadzkan Sayyidina (سَيِّدِنَا ) dalam Tasyahud
Soal :

Pada saat menyebutkan nama Rosululloh Saw, kaum muslimin menambahkan dengan kata Sayyidina (سَيِّدِنَا ) . Bagaimana hukumnya melafadzkan Sayyidina (سَيِّدِنَا ), khususnya ketika membaca Tasyahud dalam Sholat ? Sebab ada yang mengatakan hal tersebut tidak boleh dilakukan / haram.

Jawab :

Kata-kata Sayyidina (سَيِّدِنَا ) sering kali digunakan oleh kaum Muslimin, baik ketika Shalat maupun diluar Shalat. Hal ini termasuk perbuatan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad Rosululloh Saw.
Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan :
اَلْأَوْليٰ ذِكْرُ السِّيَادَةِ لِأَنَّ الْأَفْضَلَ سُلُوْكُ الْأَدَبِ  ( حاشية الباجُرِي ، ج  ١  ص  ١٥٦ (
Yang lebih utama adalah mengucapkan Sayyidina ( سَيِّدِيْنَا ) sebelum nama Nabi SAW, karena yang lebih utama dengan mengucapkan Sayyidina (سَيِّدِيْنَا ) adalah cara beradab ( bersopan santun ) pada Nabi Muhammad Rosululloh SAW. ( Hasyiyah al-Bajuri, Juz 1, hal. 156 )
Pendapat ini didasarkan pada Hadits Rasululloh Saw :
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص . م . اَنَا سَيِّدُ وَلَدِ  ادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ واَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُ عَنْهُ الْقَبْرُ وَاَوَّلُ شَافِعٍ واَوَّلُ مُشَفِعٍ ( صحِيْح مُسْلِم ، رقم    ٤٢٢٣  (
Diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra ia berkata, Rosululloh Saw bersabda , “ Saya Gusti / Sayyid سَيِّدُ  / penghulu anak Adam pada hari kiyamat  diakhirat, orang pertama yang bangkit dari Quburan,orang yang pertama memberikan syafa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at/ pertolongan ( Shahih Muslim 4223 )
Hadits ini menyatakan bahwa Rosululloh Saw menjadi Sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Rosululloh Saw menjadi Sayyid hanya pada hari qiyamat saja. Bahkan beliau Saw menjadi Tuan ( Sayyid ) manusia di dunia dan di akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al – Maliki al – Hasani dalam kitabnya Manhaj al- Salaf fi Fahmi al-Nushush bain al-Hadzariyah wa al-Tathbiq )
Ini sebagai indikasi bahwa Rosululloh saw.  membolehkan memanggil beliau    dengan syyi dina. Karena memang kenyataannya begitu. Rosululloh saw adalah sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.
Lalu bagaimana  dengan hadits yang menjelaskan larangan mengucapkan Sayyidina (سَيِّدِنَا ) dalam Shalat ?
لَاتُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلَاةِ  Jangan kalian mengucapkan Sayyidina (سَيِّدِنَا ) kepadaku didalam Shalat
Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan  termasuk Hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata Sayyidina (سَيِّدِنَا ) didepan nama Nabi  Sawadalah Bid’ah Dlalalah. Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab, secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan  سَادَ  - يَسِيْدُ  tapi  سَادَ  - يَسُوْدُ , sehingga tidak bias dikatakan  لَاتُسَيِّدُوْنِي   . Tapi  لَاتُسَوِّدُوْنِي
Oleh sebab  itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong haDIts maudlu’, Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi Muhammad Saw. Karena tidak mungkin Rosululloh Saw keliru dalam menyusun kata-kata Arab, konsekuwensinya, hadits itu tidak bias dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan Sayyidina (سَيِّدِنَا ) dalam Shalat.
Catatan !
Sayyid Alwi al-Maliki al-Hasani menambahkan, setidaknya ada empat alas an untuk menolak pendapat yang melarang unttuk menyebutkan Sayyidina ketika membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
1.      Tidak ada keterangan secara jelas dan tegas, baik dalam al-Qur’an, al-Hadits maupun pendapat dari imam yang empat, yang mengatakan bahwa mengucapkan Sayyidina itu membatalkan Shalat.
2.      Orang yang mengatakan batal tidak pernah memberikan dasar dan dalil hukumnya.Jadi hanya omong kosong belaka.
3.      Tiga Imam madzhab ( Imam Hanafi, Maliki dan Syafi’i ) sepakat tentang disyari’atkannya menambah kata Sayyidina ketika membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai penghormatan dan sopan santun, berakhlak karimah kepada beliau Saw.
4.      Banyak ulama-ulama salaf yang mengatakan bahwa hadits yang dijadikan acuan oleh mereka ( yang menolak itu ) adalah batal, seperti al-Bakri bin Muhammad Syatha             ( pengarang kitab  I’anah at-Thalibin ) dan ar-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj. Lihat  Alwi al-Maliki al-Hasani, Majmu’ al-Fatawi wa Rasa’il, hal. 90-91. Bandingkan dengan al-Bajuri, Ibrahim bin Muhammad, Hasyiyah al-Bajuri juz 1, hal. 156 ; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa-Adillatuh, Juz 1, hal. 721.
Dalam ilmu sharaf   , kata  Sayyid  سَيِّدٌ berasal dari kata  سَيْوِدَةٌ  kemudian huruf wawu ditukar kepada huruf  ya menjadi  سَيْيِدَةٌ setelah itu dua Ya tersebut di Idghomkan ( dikumpulkan ) sehingga menjadi   سَيِّدٌ  . Sehingga yang benar adalah لَاتُسَوِّدُوْنِيْ bukan  لَاتُسَيِّدُوْنِي karena kata inilah yang merupakan akar kata dari kalimat Sayyid  ( سَيِّدٌ  )

 Oleh      :
K. H. Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari.  Pustaka Bayan, Khalista

Tidak ada komentar:

Posting Komentar